Khauf, Rasa Takut Kepada Allah yang Mendorong Seorang Hamba Berhati-hati dalam Perbuatannya
Assalamualaikum Wr. Wb.
Salam
sejahtera kepada para pembaca yang di RAHMATI dan di RIDHOI ALLAH SWT.
Pada
kesempatan kali ini Kuas Hidayah akan membagikan Tentang Khauf. Apa Itu Khauf?,
Rasa Takut Kepada Allah yang
Mendorong Seorang Hamba Berhati-hati dalam Perbuatannya.
Mari
simak Pembahasan Berikut ini.
KuasHidayah.com - Seperti yang dikutip dari PeciHitam.org Khauf merupakan salah satu sikap yang harus dimiliki seorang hamba yang
dengannya, ia merasa khawatir dan hati-hati agar jangan sampai terjerumus pada
perbuatan yang mendatangkan murka Allah.
Pengertian Khauf
Secara harfiah
berarti takut, yakni takut kepada Allah, hati yang risau, misalnya karena
khawatir jika suatu saat atau tiba-tiba terjerumus kepada perkara makruh atau
yang syubhat apalagi haram, yang karena itu murka dan siksa Allah bakal
menimpanya.
Takut
merupakan gerak hati yang menangkap Keagungan Tuhan. Kapanpun hati itu
bergerak, Tuhan pasti melihatnya. Jika intensitas ibadah seseorang mencapai
keutamaan, maka hatinya akan bergetar hebat, kulit yang merinding bahkan
tubuhnya terguncang, seperti yang digambarkan dalam firman Allah dalam Surat Al-Hajj
الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَالصَّابِرِيْنَ عَلٰى مَآ اَصَابَهُمْ وَالْمُقِيْمِى الصَّلٰوةِۙ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ
(yaitu)
orang-orang yang apabila disebut nama Allah hati mereka bergetar, orang yang
sabar atas apa yang menimpa mereka, dan orang yang melaksanakan salat dan orang
yang menginfakkan sebagian rezeki yang Kami karuniakan kepada mereka. (QS. Al-Hajj ayat 35).
Khauf dalam Istilah Tasawuf
Menurut Abû Hafsh, secara umum khauf merupakan cambuk
Allah SWT yang dipergunakan untuk meluruskan orang-orang yang lari melalui
pintu tobat kepada-Nya.
Bentuk khauf, menurut Abd al-Qâsim alHakîm, ada dua
macam, yaitu rahbah dan khasyyah. Orang yang lari dan
berlindung kepada Allah dari kendali hawa nafsunya, maka takut yang ia alami
disebut rahbah.
Sedangkan orang yang lari kepada Allah karena tarikan
ilmunya untuk kemudian melaksanakan kebenaran syariah, maka disebut khasyyah.
Seorang tabiit tabiin, Abdullah bin
Mubarak mengingatkan bahwa khauf yang benihnya sudah ada pada
setiap hamba, tidak akan tumbuh apalagi bangkit sampai ia tertanam dengan baik
di dalam hati melalui tagarrub (mendekatkan diri kepada Allah) secara
konsisten, baik samarsamar maupun terang-terangan.
Apabila khauf
sudah tertanam dengan baik di dalam hati, maka segala keinginan hawa nafsu dan
cinta terhadap dunia akan terbakar dan sirna.
Derajat sang hamba pun akan meningkat ke derajat
lebih tinggi. Sebaliknya, bila rasa takut yang tumbuh itu disia-siakan ia akan
layu lalu mati.
Karenanya, Abû Sulayman al-Darânî mengingatkan agar
hati harus dijaga agar jangan sampai terkalahkan dan dikuasai oleh apapun
kecuali rasa khauf.
Bagi setiap mukmin, khauf sangat penting, apalagi
bagi mereka yang meniti hidup melalui jalan sufi.
Al-Qur’an
memberikan isyarat bahkan perintah tentang keharusan setiap hamba yang beriman
untuk takut kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam Surat Ali Imran
اِنَّمَا ذٰلِكُمُ الشَّيْطٰنُ يُخَوِّفُ اَوْلِيَاۤءَهٗۖ فَلَا تَخَافُوْهُمْ وَخَافُوْنِ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَّا يَجْزِيْ وَالِدٌ عَنْ وَّلَدِهٖۖ وَلَا مَوْلُوْدٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَّالِدِهٖ شَيْـًٔاۗ اِنَّ وَعْدَ اللّٰهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَاۗ وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللّٰهِ الْغَرُوْرُ
Wahai manusia!
Bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutlah pada hari yang (ketika itu) seorang
bapak tidak dapat menolong anaknya, dan seorang anak tidak dapat (pula)
menolong bapaknya sedikit pun. Sungguh, janji Allah pasti benar, maka janganlah
sekali-kali kamu teperdaya oleh kehidupan dunia, dan jangan sampai kamu
teperdaya oleh penipu dalam (menaati) Allah. (QS. Luqman ayat 33)
Bahkan ada di antaranya yang menyertakan ancaman-ancaman
yang bisa membuat gentar hamba-hamba yang paling saleh sekalipun, sebagaimana
dalam Surat Al-Qiyamah ayat 7 – 12.
Memang, bagi seorang hamba yang saleh, terjerumus ke
dalam perkara yang makruh dan syubhat, apalagi haram, dianggap sebagai hal yang
sangat membahayakan dirinya.
Perkara-perkara
semacam itu menyebabkan munculnya jurang pemisah antara dirinya dengan Tuhan,
Zat yang sangat dicintai dan mencintainya.
Di samping itu juga akan menyebabkan Tuhan, yang
sangat dicintainya itu akan meninggalkannya dan tidak lagi mencintainya.
Kalau ini terjadi pada diri seorang hamba,
betul-betul merupakan suatu bencana yang sangat fatal.
Tingkatkan Khauf
Mengenai tingkatan Khauf, Abû Nasr al-Sarraj,
menjelaskan, bahwa ada tiga macam (tingkatan) khauf.
Tingkatan
Pertama
Tingkatan ini merupakan khauf tingkat tinggi yang
dimiliki oleh orang-orang yang mulia yaitu khauf yang menyertai keimanan.
Artinya khawf yang timbul semata-mata karena kualitas keimanan.
Orang pada tingkatan khauf ini berada pada tingkat
khawf yang paling tinggi, sehingga ia tidak takut kepada siapapun kecuali Allah
dan tidak khawatir akan terjadi apapun kecuali jika imannya kepada Allah
tiba-tiba lepas dari dirinya.
Ketika ditanya, “Lalu sebesar apa khauf yang ada pada
hamba semacam itu?” Sahl menjawab, “Kira-kira, sebesar gunung.”
Tingkatan
Kedua
Tingkatan kauf ini adalah khauf orang-orang kelas
menengah yang takut jika hubungannya dengan Yang Maha Kasih terputus dan
kejernihan ma’rifahnya tercemar.
Mereka takut
kalau tidak bisa lagi berserah diri sepenuhnya demi cinta kepada-Nya, sehingga
tidak bisa lagi menyaksikan dan merasakan kenikmatan cinta-Nya.
Tingkatan
Ketiga
Khauf tingkatan ketiga adakah khawf-nya orang awam
yang takut akan murka dan siksa-Nya sehingga sekaligus juga tidak bisa mengharapkan
surga-Nya.
Rasa takut mereka dicerminkan pada kegelisahan dan
kegoncangan hati terutama saat mereka mengetahui betapa Maha Kuasanya Zat yang
disembahnya itu.
Menurut Abu Sa’id Al-Kharraz, inilah jenis khawfyang
sebagian besar dapat kita jumpai.
Ungkapkannya, “Sesungguhnya sebagian besar orang yang
takut adalah karena merasa kasihan kepada dirinya, sehingga mereka berusaha
berbuat baik dan menuruti perintah-Nya demi menyelamatkan diri mereka dari
ancaman siksa Azza wa Jalla.”
Kemudian, lebih lanjut, tentang perbedaan tingkat
khauf ini, Abû Bakr al-Wasitî menyatakan bahwa para tokoh besar kalangan
muttaqin (orang-orang yang takwa) merasa takut jika mereka terputus hubungan
dengan Allah, sedangkan orang-orang awam merasa takut akan siksa Allah (dan
mengharap surga).
Artinya rasa takut kelompok pertama lebih pasti dan
murni, sedangkan yang terakhir masih didorong oleh kepentingan yang walau
mungkin saja hanya sedikit, masih ada kaitan dengan nafsu.
Maka selama dalam jiwa masih ada sisa-sisa
kepentingan nafsu berarti hamba tersebut belum sampai pada tingkatan muhsin
(orang yang berbuat baik), meskipun dia sudah menyatakan diri menyerah dan
tunduk sepenuhnya kepada Allah.
Sedangkan menurut Abu Nasr al-Sarrâj, yang dimaksud
dengan kepentingan-kepentingan nafsu adalah usaha untuk mengatur, mengaku, dan
melihat ketaatan yang dilakukannya dengan pamrih tertentu (termasuk ingin
terhindar dari siksa neraka atau memperoleh pahala surga).
Khauf
dan Raja’
Bagi seorang hamba yang menapaki jalan spiritual
(sufi), rasa takut (khauf) harus disertai dengan raja’ (berharap penuh kepada
Allah).
Raja’ juga penting karena siapapun di dunia ini tak
mungkin ada yang hidup tanpa harapan. Karena itu, khawf dan raja’ harus selalu
bergandengan dan satu sama lain harus terkait dan berjalan secara serasi dan
seimbang sehingga menjadi dua serangkai yang menyatu dan tidak terpisah.
Dengan khauf dan raja’, sang hamba tidak semata-mata
takut akan murka dan siksa Allah, melainkan pada saat yang sama ia juga harus
menyertakan pengharapan yang penuh akan karunia-Nya.
Menurut Sahl, sebagaimana dikisahkan Abu Bakr
Muhammad Al-Kalâbâdzi, khauf adalah unsur jantan, sedangkan raja’ adalah unsur
betina yang dalam menumbuhkan realitas keimanan yang sedalam-dalamnya.
Keduanya harus melekat sekaligus secara bersama,
serasi dan seimbang pada diri seorang hamba yang saleh.
Dengan kedua
sayap itu, seorang hamba yang sedang berusaha mendekatkan dirinya (taqarrub)
kepada Allah dapat mendaki dan terbang menuju ketinggian derajat spiritual yang
terpuji, yang tanpa itu mustahil ia dapat melakukan taqarrub.
Jika khawf dan raja’ diumpamakan sebagai dua sayap
burung, seperti yang dikemukakan Abû Ali al-Rudzabri, maka apabila dua sayap
itu sama, serasi dan seimbang, maka burung itu akan terbang sempurna.
Sebaliknya, bila salah satu sayap itu tidak ada, maka
terbangnya tidak akan baik dan sempurna. Kalau burung itu memaksakan diri untuk
terbang, ia bisa celaka bahkan jatuh mati.
Khauf
dan Mahabbah
Sebab, menurut al-Sarraj, adalah karena qurbah
(kedekatan kepada Allah), apabila sudah tercapai, akan mengakibatkan tumbuhnya
dua kondisi spiritual, yakni khawf dan mahabbah.
Menurut al-Sarrâj, di antara hamba yang meniti jalan
sufi, saat melihat kedekatan dirinya dengan Allah sudah sedemikian rupa, khawf
itulah yang menguasai diri dan hatinya, namun ada juga di antara mereka, yang
setelah melakukan tashdiq (pembenaran) akan hakikat Ilahiah,
diri dan hatinya dikuasai mahabbah yang mendalam.
Kondisi tersebut terjadi setelah Tuhan membukakan
kepada hamba-Nya berbagai rahasia dan keghaiban Ilahi.
Jika seorang hamba, dalam kedekatan dengan Tuhannya
itu, hatinya menyaksikan Kebesaran, Keagungan dan kekuasaan-Nya, maka yang
tumbuh dalam hatinya adalah rasa takut, malu dan gemetar.
Tetapi sebaliknya, apabila dalam kedekatan itu yang
ia saksikan adalah Kelembutan Dzat Tuhan, Keqadiman Kasih Sayang, Kebaikan dan
Karunia serta Kecintaan yang selalu Ia berikan, maka yang merasuk dalam hati
sang hamba adalah rasa rindu, gelisah, cinta yang membara dan bosan hidup.
Apapun adanya, semua ini terjadi begitu rupa
semata-mata karena qudrat dan iradat Allah yang memang memberikan karunia
demikian ke dalam hati hamba yang bersangkutan.
Kesimpulan
Begitulah khauf, perasaan takut kepada Allah yang
harus dimiliki oleh seorang hamba agar di dalam menjalani hidup ini hati-hati
dan tidak terjerumus ke dalam hal yang mendatangkan murkanya.
Namun perasaan takut ini ini menjadi tidak seimbang
jika tidak disertai dengan pengharapan (raja’) —atau mahabbah (cinta) menurut
pandangan para ahli sufi yang lain. Jika keduanya ada dan berjalan seimbang,
maka seorang hamba akan terbang pada derajat yang tinggi.
Wallahu
A'lam Bisshawab.
Nah itulah Khauf, Rasa Takut Kepada Allah yang Mendorong Seorang Hamba Berhati-hati dalam Perbuatannya.
Sekian
dari Kuas Hidayah, Semoga bisa membawa manfaat.
Wassalamualaikum
Wr. Wb.
Dikutip dari Sumber : https://pecihitam.org/khauf/
Belum ada Komentar untuk "Khauf, Rasa Takut Kepada Allah yang Mendorong Seorang Hamba Berhati-hati dalam Perbuatannya"
Posting Komentar