Assalamualaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera kepada para pembaca yang di RAHMATI
dan di RIDHOI ALLAH SWT.
Pada kesempatan kali ini Coretan Kisah
Sahabat Nabi / Kuas Hidayah akan membagikan
sebuah kisah Nabi Muhammad SAW tersenyum, saat Sayyidina Abu Bakar Dicaci Maki.
Mari simak Pembahasan
Berikut ini.
Sesungguhnya (ada)
seorang laki-laki mencela Abu Bakar, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam duduk. (Kejadian itu) membuat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
terheran-heran dan tersenyum. Kemudian, ketika Abu Bakar (mulai) banyak
menanggapi (atau membantah) sebagian perkataan (celaan) laki-laki tersebut,
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam marah dan berdiri (pergi).
Abu Bakar pun
menyusul Nabi, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, orang itu mencelaku, engkau
(hanya) duduk. Ketika aku membantah sebagian perkataannya, engkau berdiri
(pergi) dan marah.”
Rasulullah menjawab:
“Sesungguhnya ada malaikat bersamamu yang akan membantah(nya) untukmu. Ketika
kau (mulai) membantah sebagian perkataan (celaan)nya, setan datang. Aku tidak
(akan pernah mau) duduk bersama setan.” Kemudian Rasulullah berkata: “Wahai Abu
Bakar, (ada) tiga hal (yang menjadi) hak (seorang hamba): (1) Tidaklah seorang
hamba (Allah) yang terzalimi dengan kezaliman, lalu dia pasrahkan kepada Allah
‘Azza wa Jalla, kecuali Allah pasti memenangkan(nya) dengan pertolongan(-Nya),
(2) Tidaklah seseorang yang membuka pintu pemberian (atau kedermawanan) yang
dia harapkan (dapat menjadi) penyambung (silaturahim atau persaudaraan),
kecuali Allah pasti tambahkan (harta) yang banyak (kepadanya), dan 3) Tidaklah
seseorang yang membuka pintu permintaan yang dia harapkan untuk (mendapatkan
harta) yang banyak, kecuali Allah ‘Azza wa Jalla pasti tambahkan kekurangan
(kepadanya). (Imam Ahmad bin Handal, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, Beirut:
Mu’assasah al-Risalah, tt, juz 15, h. 390).
Sudah barang tentu,
setiap manusia pasti mengalami marah. Ada yang menampilkannya; ada pula yang
menahannya. Tapi, Nabi menganjurkan kita untuk menahannya, bahkan menghadiahi
surga bagi orang yang berhasil menjaga amarahnya (lâ taghdlab wa laka
al-jannah, jangan marah dan untukmu surga).
Dari riwayat di atas
kita tahu, salah satu alasan Rasulullah meminta umatnya tidak marah, agar
mereka terlepas dari jebak rayu setan. Kita sering dapati di banyak media
massa, seseorang membunuh seseorang disebabkan oleh amarah dan ketersinggungan.
Amarah menjadi salah satu pintu masuk terfavorit
setan untuk membujuk dan merayu. Saat marah, kesadaran manusia tersisihkan dan
tertekan. Dia tidak lagi mampu melakukan penalaran yang jernih, kecuali jika
dia bisa mengendalikan amarahnya seperti yang diperintahkan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam. Karena itu, Rasulullah hanya duduk tersenyum melihat
Sayyidina
Abu Bakar
radhiyallahu ‘anhu dicaci maki di depannya, tapi bergegas pergi dan tidak
senang ketika ia mulai membantah atau membalasnya. Hal ini membuat Sayyidina
Abu Bakar heran, dan berkata kepadanya, “Wahai Rasulullah, orang itu mencelaku,
engkau (hanya) duduk. Ketika aku membantah sebagian perkataannya, engkau
berdiri (pergi) dan marah.” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya ada malaikat
bersamamu yang akan membantah(nya) untukmu. Ketika kau (mulai) membantah
sebagian perkataan (celaan)nya, setan datang. Aku tidak (akan pernah mau) duduk
bersama setan.” Rasulullah tersenyum karena tahu Abu Bakar mendapat pembelaan
langsung dari malaikat ketika dia dicela. Lalu Rasulullah marah, dalam konteks
mendidik, karena bantahan atau balasan Abu Bakar membuat setan datang. Artinya,
ketersinggungan dan amarah sudah mulai datang, dan menjadi pintu masuk setan
untuk membujuk dan merayu.
Kemudian Rasulullah mewasiati Sayyidina Abu Bakar
dengan tiga hal. Pertama, seorang hamba yang teraniaya akan mendapat kemenangan
dan pertolongan Allah jika memasrahkannya kepada-Nya. Artinya, Allah
menghendaki hamba-hambanya untuk menghindari pembalasan dendam secara langsung,
tapi menyerahkan semuanya kepada Allah, dan Allah akan mengangkat derajatnya.
Kedua, seseorang yang berderma untuk menyambung persaudaraan akan ditambah
banyak kenikmatan oleh Allah.
Berderma atau
memberi, tidak melulu soal harta dan benda. Berderma “maaf” pun tidak kalah
penting dengan berderma harta. Orang yang memberi maaf pada yang menyakitinya,
akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Kita tahu, doa orang
teraniaya itu mustajab, meskipun dia seorang ahli maksiat atau non-Muslim.
Dalam sebuah hadits dikatakan (HR. Imam Ahmad):
اتَّقُوا دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ وَإِنْ كَانَ كَافِرًا فَإِنَّهُ
لَيْسَ دُونَهَا حِجَابٌ
“Takutlah kalian atas
doa orang yang terzalimi, meskipun ia orang kafir. Karena sesungguhnya tidak
ada (antara ia dan Allah) penghalang” (Imam Abdurrauf al-Munawi, Faidl al-Qadîr
Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1972, juz 1, h. 142).
Hadits di atas adalah
rambu-rambu untuk kita, agar lebih berhati-hati dalam melangkah. Menjauhi
perbuatan zalim, menyakiti atau melukai perasaan orang lain. Jangankan yang
sesama Muslim, yang kafir pun doanya diijabah oleh Allah subhanahu wa ta’ala
jika dia tersakiti.
Menurut Imam
al-Munawi, hal ini tidak bertentangan dengan ayat al-Qur’an yang mengatakan
(QS. Al-Mukmin: 50): “Dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka.” Imam
al-Munawi berkata:
لأنّ ذلك في دعائهم للنجاة من نار الآخرة
“Karena sesungguhnya
ayat tersebut (berbicara tentang) doa mereka agar diselamatkan dari (siksa) api
(neraka) di akhirat” (Imam Abdurrauf al-Munawi, Faidl al-Qadîr Syarh al-Jâmi’
al-Shaghîr, 1972, juz 1, h. 142).
Selain itu, hadits di
atas memberikan kita sebuah kesempatan besar untuk berderma. Bayangkan saja,
ketika kita sedang dizalimi, dan kita menggunakan privilege (hak istimewa)
“dikabulkan doanya” untuk mendoakan kebaikan pada orang yang menzalimi kita.
Kita sebenarnya sedang berdakwah dalam doa.
Artinya, kita
mempunyai kesempatan bagus untuk membantu perubahan orang tersebut ke arah yang
lebih baik melalui doa. Ketiga, seseorang yang banyak permintaannya hanya untuk
dirinya sendiri akan ditambahkan kekurangan.
Sebab, dia tidak akan
pernah merasa puas akan sesuatu, selalu merasa kurang dan kurang, sehingga
pandangannya tertutup oleh perasaan kurangnya, tidak bisa melihat begitu banyak
anugerah dan kebaikan yang didapatkannya.
Wallahu a’lam
bish-shawwab....
Nah itulah sedikit kisah dari kisah Nabi Muhammad SAW tersenyum, saat
Sayyidina Abu Bakar Dicaci Maki.
Sekian dari Coretan Kisah Sahabat Nabi / Kuas Hidayah, Semoga
bisa membawa manfaat.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Muhammad Afiq Zahara,
alumni PP Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Artikel ini terbit
atas kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI
Dikutip dari Sumber: https://islam.nu.or.id/