Karena Melihat Anjing yang Meminum Susu, Kisah Sahabat yang Masuk Islam

Assalamualaikum Wr. Wb.

Salam sejahtera kepada para pembaca yang di RAHMATI dan di RIDHOI ALLAH SWT.

Pada kesempatan kali ini Coretan Kisah Sahabat Nabi / Kuas Hidayah akan membagikan sebuah kisah seorang Sahabat yang Masuk Islam, Karena Melihat Anjing yang Meminum Susu.

Mari simak Pembahasan Berikut ini.

Karena Melihat Anjing yang Meminum Susu, Kisah Sahabat yang Masuk Islam


Sebelum Islam datang, penduduk Mekah dan sekitarnya tercatat menyembah berhala. Beberapa tokoh ternama yang kemudian dikenal sebagai sahabat utama Rasulullah pun sebelumnya menyembah patung, temasuk Abu Dzar Al-Ghifari.

Tak sedikit di antara mereka yang meragukan ajaran Rasulullah SAW saat itu. Namun pada akhirnya, para sahabat mengetahui jika berhala yang mereka sembah tidaklah benar.

Kemudian, mereka memilih mengikuti ajaran Rasulullah SAW dan menjadikan Islam sebagai pondasi dalam menjalani kehidupan. Meski begitu, seorang sahabat

Rasulullah yang bernama Abu Dzar Al Ghifari ternyata memiliki pandangan tersendiri tentang berhala yang beliau sembah dan juga disembah oleh orang-orang di sekitarnya.

Sebelum masuk Islam, pria yang hidup di sarang penyamun dan perampok itu pernah meragukan tentang berhala yang ia sembah.

Sebelum memeluk agama Islam, beliau sering merampok orang-orang yang berada di sekitar negerinya. Sehingga, beliau sangat dikenal sebagai perampok besar dan sempat memiliki julukan Jundab.

Suatu ketika, Abu Dzar Al-Ghifari membawa sesajen berupa susu ke berhala yang disembahnya sebelum masuk Islam. Berhalanya bernama Naam dan disajikan susu tersebut. Abu Dzar al-Ghifari berkata, “Wahai Naam, aku bawakan susu untukmu,”.

Tak lama kemudian, datanglah seekor anjing yang meminum susu tersebut sampai habis. Lalu anjing itu kencing di tempat susu yang kosong tersebut. Kejadian itu membuat Abu Dzar Al-Ghifari terdiam dan berpikir. Beliau pun memutar otaknya lantaran berhala yang beliau sembah sama sekali tak berkutik dengan perbuatan anjing tersebut.

Abu Dzar al-Ghifari kemudian mulai meragukan dengan apa yang telah beliau dan keluarganya sembah selama ini. Singkat cerita, beliau yang tinggal tak jauh dari Mekah mendengar adanya ajaran baru yang masuk. Ajaran itu adalah agama Islam yang mengajarkan pada tatanan kedamaian dan juga melakukan hal-hal yang baik.

Abu Dzar Al-Ghifari RA merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang terkenal. Dikemudian hari, beliau terkenal dengan kezuhudan dan keilmuannya.  Ali bin Abi Thalib RA berkata, " Abu Dzar Al-Ghifari memiliki ilmu yang orang lain tidak mampu memperolehnya.

Hanya saja, dia menyimpannya." Dalam kitab Fadhilah Amal yang ditulis oleh Maulana Zakariyya Al Khandahlawi, disebutkan, ketika pertama kali beliau mendengar kabar tentang kenabian Muhammad SAW, beliau mengirimkan saudaranya ke Makkah untuk memastikan berita itu.

Kepada saudaranya beliau berkata, "Apabila ada orang yang mengaku telah datang wahyu kepadanya dari langit, selidikilah keadaannya dan dengarkanlah baik-baik perkataannya." Saudaranya pun pergi ke Makkah.

Setelah menyelidiki keadaan di sana, ia pun kembali dan melapor kepadanya.

"Aku melihatnya memerintahkan kebaikan dan akhlak yang mulia, dan aku mendengar ucapan yang bukan ucapan ahli syair atau ucapan ahli sihir."

Abu Dzar Al-Ghifari tidak puas dengan laporan ringkas dari saudaranya. Beliau memutuskan untuk pergi sendiri ke Makkah.

Setibanya di sana, beliau langsung menuju Masjidil Haram. Abu Dzar Al-Ghifari belum mengenal Baginda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Abu Dzar Al-Ghifari berpikir, tidak aman jika menanyakan tentang Baginda Nabi Muhammad SAW kepada orang-orang. Maka hingga petang, Abu Dzar Al-Ghifari masih terus tinggal di Masjidil Haram dalam keadaan seperti itu.

Ketika hari sudah mulai gelap, Sayyidina Ali Radhiyallahu ‘anhum melihat ada seorang musafir asing. Pada masa itu, menunaikan hajat para musafir, orang-orang miskin, dan orang-orang asing sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab.

Sayyidina Ali Radhiyallahu ‘anhum pun membawa musafir itu ke rumah dan menjamunya. Tetapi Sayyidina Ali merasa belum waktunya bertanya mengenai siapa dan apa maksud kedatangannya. Musafir tersebut juga tidak mengemukakan maksudnya kepada tuan rumah.

Pagi harinya, ia kembali ke masjid. Sepanjang hari, keadaan tetap seperti itu,  Abu Dzar Al-Ghifari tidak bisa menemui Baginda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam karena dia belum mengenal Baginda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan tidak bisa bertanya kepada siapa pun.

Kemungkinan besar, hal tersebut disebabkan berita tentang permusuhan orang-orang kafir terhadap Baginda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah tersebar luas.

Siapapun yang menemui beliau akan disiksa dengan segala cara. Ia pun berpikir, tidak mungkin menanyakan kepada orang lain mengenai keadaan Baginda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam yang sebenarnya.

Ia takut, jika ia bertanya kepada seseorang, kemudian orang tersebut berprasangka buruk, ia akan mendapatkan kesusahan.

Sore hari kedua, Sayyidina Ali berpikir, "Musafir asing ini pasti mempunyai tujuan datang kemari. Mungkin tujuannya belum terpenuhi."  Sayyidina  Ali pun mengajak kembali tamunya menginap dan menjamunya di rumah. Namun, malam itu pun Sayyidina Ali belum bertanya kepadanya.

Malam ketiga, akhirnya Sayyidina  Ali bertanya kepada tamunya, "Apakah tujuanmu datang kemari?" Setelah meminta Sayyidina Ali  bersumpah dan berjanji akan menjawab dengan jujur setiap pertanyaannya, barulah Abu Dzar Al-Ghifari mengutarakan maksudnya.

Sayyidina  Ali berkata, "Sungguh, beliau utusan Allah SWT. Jika esok pagi aku pergi, ikutlah dengan aku. Aku akan mengantarmu kepada beliau. Karena suasana pertentangan masih panas, maka jika selama di perjalanan kita menemui seseorang yang mencurigai perjalanan kita, aku akan berpura-pura membetulkan terompah. Hendaknya engkau terus berjalan, jangan menggangguku agar orang tidak mengetahui perjalanan kita."

Keesokan paginya, Ali diikuti musafir itu tiba di tempat Baginda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Mereka berbincang-bincang dengan beliau. Saat itulah Abu Dzar Al-Ghifari masuk Islam.

Selanjutnya, karena Baginda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sangat mencemaskan gangguan yang akan menimpa dirinya, beliau melarang Abu Dzar Al-Ghifari menunjukkan keislamannya di muka umum.

Baginda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, "Pulanglah kepada kaummu dengan sembunyi-sembunyi, dan engkau boleh kembali lagi jika kami telah mendapat kemenangan."

Abu Dzar Al-Ghifari menjawab, "Ya Rasulullah, demi Dzat yang nyawaku berada di tangan-tanganNya, aku akan mengucapkan kalimah Tauhid ini dengan lantang di tengah kerumunan orang-orang yang tidak beriman itu!"

Lalu, ia langsung menuju Masjidil Haram dan dengan suara lantang itu ia berseru:
"Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah".

 Yang Artinya:
"Aku bersaksi tiada yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi Muhammad adalah utusan Allah!"

Selanjutnya, orang-orang menyerangnya dari segala arah. Tubuhnya terluka berat. Bahkan ia hampir saja menemui ajalnya.

Paman Baginda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, Abbas, yang ketika itu belum memeluk Islam melindungi  Abu Dzar Al-Ghifari dan berkata kepada mereka, "Kedzaliman apa yang sedang kalian lakukan? orang ini seorang dari kabilah Gifar. Kabilah ini menetap di jalan menuju ke Syam.

Jika ia mati, maka jalan lalu lintas ke Syam akan tertutup." Ucapanya itu menyadarkan orang-orang yang memukulinya.


Memang benar, semua kebutuhan mereka datang dari Syam. Jika jalur itu tertutup, berarti bencana bagi mereka. Akhirnya mereka melepaskannya.

Hari kedua, dengan suara lantang Abu Dzar Al-Ghifari mengulangi perbuatan menyerukan kaimah Tauhid di hadapan orang banyak. Orang-orang tidak tahan mendengar kalimah tersebut. Mereka langsung menyerangnya lagi. Hari itu  Abbas jugalah yang mengingatkan kaumnya bahwa jika ia mati, maka jalur perdagangan mereka akan tertutup.

Maulana Zakariyya menjelaskan, meskipun Baginda Rasulullah SAW telah menyuruh Abu Dzar Al-Ghifari meenyembunyikan keislamannya, tetapi Abu Dzar Al-Ghifari tetap menampakkan keislamannya secara terang-terangan karena semangat dan gelora hatinya. Tindakannya itu untuk membela yang haq.

Adapun larangan Baginda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam adalah karena rasa sayang beliau kepadanya. Beliau khawatir Abu Dzar Al-Ghifari tidak mampu menanggung risikonya. Tidak mungkin para sahabat Radhiyallahu 'anhum menentang perintah Baginda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.

Dalam menyebarkan agama, Baginda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sendiri telah banyak menanggung penderitaan.

Oleh sebab itu, Abu Dzar Al-Ghifari memilih untuk mengikuti penderitaan Baginda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Bukan menerima kemudahan yang diberikan beliau.

Inilah penyebab urusan agama para sahabat Radhiyallahu 'anhum meningkat, dunia pun takluk di bawah telapak kaki mereka dan mereka menang di setiap medan perjuangan.

Siapapun yang telah mengucapkan syahadat sekali saja, ia berada di bawah naungan bendera perjuangan Islam.


Tiada kekuatan sebesar apa pun yang dapat menghentikan mereka, dan tidak ada kedzaliman yang mampu menghalangi mereka dari menyebarkan agama.

Nah itulah sedikit kisah dari kisah seorang Sahabat yang Masuk Islam, Karena Melihat Anjing yang Meminum Susu.

Sekian dari Coretan Kisah Sahabat Nabi / Kuas Hidayah, Semoga bisa membawa manfaat.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel