Assalamualaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera kepada para pembaca yang di RAHMATI
dan di RIDHOI ALLAH SWT.
Pada kesempatan kali ini Coretan Kisah Sahabat Nabi
/ Kuas Hidayah akan membagikan
sebuah kisah seorang Sahabat yang jenazahnya dilindungi oleh Allah SWT.
Mari simak Pembahasan Berikut ini.
Perang Badar baru saja usai.
Kaum Kafir Quraisy bertekad membalas kekalahan mereka. Kedengkian dan nafsu
untuk balas dendam terus berkobar di dada kaum Quraiys.
Tidak saja kaum pria, bahkan
perempuan-perempuan bangsawan Kaum Kafir Quraisy pun turut pula ke Uhud untuk
menggelorakan semangat perang.
Di antara para wanita itu terdapat Hindun binti
Utbah (istri Abu Sufyan bin Harb), Raithah binti Munabbih (istri Amr bin Ash),
Sulafah binti Sa’ad beserta suaminya, Thalhah, dan tiga orang anak
laki-lakinya: Musafi', Julas, dan Kilab, serta banyak lagi wanita-wanita
lainnya.
Ketika pasukan-pasukan Islam dan musyrikin bertemu
di medan Uhud, dan api peperangan pun menyala, Hindun binti Utbah dan beberapa
perempuan lain berdiri di belakang pasukan pria.
Mereka memegang rebana dan
menabuhnya sambil menyanyikan lagu peperangan. Lagu-lagu mereka membakar
semangat pasukan berkuda, membuat para suami bagai terkena sihir.
Pertempuran pun usai. Kaum Kafir Quraisy meraih
kemenangan pada peperangan tersebut. Para wanita Quraisy berlompatan, berlarian
ke tengah medan pertempuran, mabuk kemenangan.
Mereka mencincang dan
merusak mayat-mayat kaum Muslimin yang gugur dalam pertempuran tersebut dengan
cara yang sangat keji. Perut mayat-mayat itu mereka belah, matanya dicongkel,
telinga dan hidungnya dipotong.
Bahkan seorang di antara mereka tidak puas dengan
cara begitu saja. Hidung dan telinga mayat-mayat itu dibuatnya menjadi kalung,
lalu dipakainya untuk membalaskan dendam bapak, saudara, dan pamannya yang
terbunuh di Badar.
Sulafah binti Sa’ad lain pula caranya. Dia tidak
seperti perempuan lain. Hatinya guncang dan gelisah menunggu kemunculan suami
dan ketiga orang anaknya. Dia berdiri bersama kawan-kawannya yang sedang mabuk
kemenangan.
Setelah lama menunggu dengan
sia-sia, akhirnya dia masuk ke arena pertempuran, sampai jauh ke dalam.
Diperiksanya satu per satu wajah mayat-mayat yang bergelimpangan.
Tiba-tiba didapatkannya mayat suaminya terbaring
hampa berlumuran darah. Dia melompat bagaikan singa betina ketakutan.
Kemudian, ditujukannya
pandangan ke segala arah mencari anak-anaknya: Musafi', Kilab, dan Julas. Tidak
berapa lama dia mencari ke segenap lapangan, didapatinya Musafi dan Kilab telah
tewas. Namun Julas masih hidup dengan nafas kembang-kempis.
Sulafah memeluk tubuh anaknya yang setengah
sekarat. Kemudian diletakkannya kepala anak itu ke pahanya. Dibersihkannya
darah dari kening dan mulutnya.
Air matanya kering karena
pukulan berat yang sangat mengguncang hatinya.
Kemudian, ditatapnya wajah anaknya seraya
bertanya, “Siapa lawan yang menjatuhkanmu?”
Dengan nafas putus nyambung Julas menjawab, “Ashim
bin Tsabit, dia pula yang memukul roboh Musafi' dan...”
Belum habis dia berbicara, nafasnya sudah putus.
Sulafah binti Sa’ad bagaikan orang gila. Dia menangis dan meraung
sekencang-kencangnya.
Dia bersumpah tidak akan
makan dan menghapus air mata, kecuali bila orang Quraisy membalaskan dendamnya
terhadap Ashim bin Tsabit, dan memberikan batok kepala Ashim kepadanya untuk
dijadikan mangkok tempat minum khamr.
Dia juga berjanji akan
memberikan hadiah dan uang yang banyak bagi orang yang dapat menyerahkan Ashim bin Tsabit kepadanya, hidup atau mati!
Janji Sulafah itu tersiar cepat ke seluruh
Quraisy. Setiap pemuda Makkah berharap mereka dapat memenangkan lomba itu, dan
membawa Ashim kepada Sulafah untuk memperoleh hadiah besar yang dijanjikannya.
Seusai Perang Uhud, kaum Muslimin kembali ke
Madinah.
Mereka membicarakan
pertempuran yang baru dialami. Sama-sama memperlihatkan rasa sedih atas
pahlawan-pahlawan yang syahid, memuji keberanian orang-orang yang terluka, dan
sebagainya.
Mereka pun tidak ketinggalan
menyebut nama Ashim bin Tsabit yang dikatakan sebagai pahlawan gagah tak
terkalahkan. Mereka kagum bagaimana Ashim mampu merobohkan tiga bersaudara
sekaligus.
Seorang di antaranya berkata, “Itu soal yang tidak
perlu diherankan. Bukankah Rasulullah pernah mengingatkan ketika beliau
bertanya bebarapa saat sebelum berkobar Perang Badar, “Bagaimana caranya kamu
berperang?”
Lalu Ashim tampil dengan busur panah di tangan,
lalu berkata, “Jika musuh berada di hadapanku seratus hasta, aku panah dia.
Apabila musuh mendekat dalam jarak tikaman lembing, aku bertanding dengan
lembing sampai patah. Jika lembingku patah, kuhunus pedang, lalu aku main
pedang.”
Maka Rasulullah bersabda, “Nah, begitulah
berperang. Siapa yang hendak berperang, berperanglah seperti Ashim.”
Tidak berapa lama setalah Perang Uhud, Rasulullah
memilih enam orang sahabat untuk melaksanakan suatu tugas penting, dan beliau
mengangkat Ashim bin Tsabit sebagai pemimpin.
Orang-orang terpilih ini
berangkat melaksanakan tugas yang dibebankan oleh Rasulullah kepada mereka.
Di tengah jalan, tidak jauh dari Makkah,
sekelompok kaum Hudzail melihat kedatangan mereka. Kelompok itu segera
mengepung mereka dengan ketat.
Ashim dan kawan-kawan dengan
sigap menyambar pedang masing-masing, dan siap siaga menghadapi segala kemungkinan.
Kata orang-orang Hudzail, “Kalian tidak akan
berdaya melawan kami. Demi Allah, kami tidak akan berlaku jahat terhadap kalian
jika kalian menyerah. Kalian boleh memercayai sumpah kami dengan nama Allah.”
Para sahabat Rasulullah berpandangan satu sama
lain seolah-olah bermusyawarah, sikap apa yang harus diambil.
Ashim menoleh kepada
kawan-kawannya seraya berkata, “Aku tidak dapat memegang janji orang-orang
musyrik itu.”
Kemudian diingatnya sumpah Sulafah untuk
menangkapnya. Ashim kemudian menghunus pedangnya sambil berdoa, “Wahai Allah,
aku memelihara agama-Mu dan bertempur karenanya. Maka lindungilah daging dan
tulangku, jangan biarkan seorang musuh pun menjamah.”
Ashim dan rekan-rekannya menyerang orang-orang
Hudzail. Mereka bertiga bertempur mati-matian, sehingga akhirnya roboh dan
gugur satu per satu. Adapun kawan Ashim tiga lagi menyerah sebagai tawanan.
Mereka dikhianati oleh kaum Hudzail yang tidak memenuhi janji.
Pada mulanya kaum Hudzail tidak mengetahui bahwa
salah seorang di antara korban mereka adalah Ashim bin Tsabit. Namun setelah
tahu bahwa salah satunya adalah Ashim, mereka pun girang bukan kepalang, karena
membayangkan hadiah besar yang akan diperoleh.
Hanya beberapa saat setelah kematian Ashim bin
Tsabit dan kawan-kawan, Kaum Kafir Quraisy telah mencium beritanya. Karena kaum
Hudzail tinggal tidak jauh dari kota Makkah, para pemimpin Quraisy segera
mengirim utusan kepada pembunuh Ashim, meminta kepala Ashim untuk menghilangkan
dahaga Sulafah binti Sa’ad, dan menyempurnakan sumpahnya.
Para pemimpin Quraisy membekali para utusan itu
dengan uang yang memadai, dan menyuruh mereka menyerahkan seluruh uang itu
kepada kaum Hudzail demi untuk mendapatkan kepala Ashim.
Kaum Hudzail pergi mencari mayat Ashim untuk
memisahkan kepalanya dari jasad. Tetapi alangkah ajaib, tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh sarang lebah dan gerombolan serangga yang menyerang dari segala
arah.
Ketika mereka hendak
menghampiri tubuh Ashim yang telah menjadi mayat, serangga itu terbang
menyeranga, menggigiti muka, mata, dan kening. Bahkan seluruh tubuh mereka
luput dari gigitan, sehingga mereka tidak bisa mendekati jenazah Ashim.
Setelah mereka mencoba berulang-ulang menghampiri
mayat Ashim, mereka selalu gagal, akhirnya menyerah. “Biarkanlah dahulu sampai
malam. Biasanya bila hari telah malam, mereka terbang. Maka tinggallah mayat
itu untuk kita,” kata seseorang.
Mereka kemudian duduk menunggu sampai malam. Namun
ketika langit mulai gelap, tiba-tiba kilat dan petir menggelegar
sambung-menyambung. Hujan pun turun dengan lebatnya bagai dicurahkan dari
langit.
Setahu mereka belum pernah
terjadi hujan sedemikian lebat. Dengan cepat air mengalir dari tebing-tebing
memenuhi sungai-sungai dan menutup permukaan lembah. Banjir besar segera datang
melanda segala yang ada.
Setelah Subuh tiba, mereka bangkit kembali mencari
tubuh Ashim di segala penjuru. Namun usaha mereka sia-sia, bahkan mereka tidak
menemukan bekas-bekasnya. Rupanya banjir telah menghanyutkan mayat Ashim tanpa
diketahui ke mana perginya.
Allah SWT memperkenankan doa Ashim bin Tsabit. Dia
melindungi mayat Ashim yang suci, jangan sampai dijamah oleh tangan-tangan
kotor orang-orang musyrik.
Nah itulah sedikit kisah dari kisah seorang Sahabat yang jenazahnya
dilindungi oleh Allah SWT.
Sekian dari Coretan Kisah Sahabat Nabi / Kuas Hidayah, Semoga
bisa membawa manfaat.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Dikutip dari sumber 101
Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni