Berumur 7 Tahun, Imam Abu Hanifah Menang Debat Melawan Seorang Atheis
Assalamualaikum Wr. Wb.
Salam
sejahtera kepada para pembaca yang di RAHMATI dan di RIDHOI ALLAH SWT.
Pada
kesempatan kali ini Coretan Kisah Sahabat Nabi / Kuas Hidayah akan membagikan
sebuah kisah Imam Abu Hanifah Menang
Debat Melawan Seorang Atheis Ketika berumur 7 (Tahun).
Mari simak Pembahasan Berikut ini.
Siapa yang tidak kenal dengan Imam Abu Hanifah? Ulama yang bernama
asli Nu’man bin Tsabit ini dikenal sebagai penggagas Madzhab Hanafi yang sangat
cerdas. Salah satu bukti kecerdasannya, di usia remajanya yang baru menginjak
tahun, Abu Hanifah yang merupakan murid kesayangan Imam Hammad ini pernah
menang debat melawan seorang atheis.
Adalah Dahriyyah, seorang atheis yang sempat membuat resah dunia
Islam di Baghdad, Irak waktu itu. Menurut versi yang lain, Dahriyyah bukanlah
seorang atheis melainkan seorang pendeta Yahudi. Terlepas dari perbedaan itu,
kali ini kami akan memaparkan kisah bagaimana seorang Imam Hanafi yang waktu
itu masih sangat belia bisa mengalahkan seorang Dahriyyah yang menjadi fenomena
waktu itu.
Cerita ini bermula ketika seorang bernama Dahriyyah datang ke
Baghdad dan membuat gempar masyarakat muslim waktu itu dengan mencoba merusak
keyakinan yang berkaitan dengan Ketuhanan. Para ulama pun mencoba berdebat
dengannya. Namun sayangnya, setiap ulama yang berdebat argumen-argumen mereka
mudah dipatahkan oleh Dahriyyah.
Hal ini tentu kemudian membuat khalifah risau. Maka sang khalifah
menyuruh para menterinya untuk meninjau di daerah lain. Barangkali ada seorang
ulama yang bisa menandingi argumen-argumen Dahriyyah.
Kemudian para tusan khalifah menemui Imam Hammad bin Sulaiman,
salah seorang tokoh teolog mazhab Asy’ari. Ia juga merupakan guru dari Imam Abu
Hanifah.
Setelah para utusan itu menyampaikan kerisauan sang khalifah, maka
disepakatilah akan dilakukan debat terbuka antara Imam Hammad dengan Dahriyyah.
Selain itu, sang khalifah meminta agar perdebatan itu dilakukan di masjid jami’
agar bisa disaksikan oleh banyak orang.
Kontan saja, masyarakat yang mendapatkan informasi tentang akan
diadakannya debat, mereka ramai-ramai sudah mendatangi masjid sehari sebelum
perdebatan dimulai.
Mereka sangat menaruh harapan kepada Imam Hammad karena beliaulah
satu-satunya ulama yang diharapkan bisa mengalahkan Dahriyyah.
Sementara itu, di rumahnya Imam Hmmad tidak berhenti berdzikir
dengan mengucapkan tasbih, mensucikan keesaan Allah. Baginya membicarakan
tentang Ketuhanan adalah bunalah hal sepele. Tidak sabar rasanya ingin
membungkam Dahriyyah yang telah membuat keruh suasana.
Jumat pagi harinya, Imam Abu Hanifah yang waktu itu masih sangat
belia datang menghadap gurunya. Tidak seperti biasanya, ia mendapati gurunya
sepertinya dalam kegentingan.
Imam Hammad pun menceritakan keadaan yang sebenarnya perihal
rencana perdebatan dengan Dahriyyah. Waltu itu pula, Imam Hammad teringat akan
mimpinya semalam, lalu disampaikanlah kepada muridnya itu. Abu Hanifah sebagai
murid yang beradab menyimak dengan khidmat tentang mimpi gurunya.
“Aku bermimpi ada sebuah dusun yang amat luas lagi indah. Di sana
kulihat ada sebatang pohon yang rindanng dan lebat buahnya. Tiba-tiba, di
situ keluar seekor babi dari ujung desa. Lalu babi
itu memakan habis buah yang masak nan ranum dari pohon itu.
Hingga ke daun dan dahan-dahannya habis dikunyah.Yang tinggal cuma batangnya
saja”
Waktu itu juga keluar seekor harimau dari umbi pohon rindang tadi.
Lalu menerkam babi itu dengan gigi dan kukunya yang tajam. Kemudian babi tadi
mati.
Setelah menceritakan mimpinya, Imam Hammad termenung seketika.
Kekalutan pikiran yang telah diakibatkan Dahriyyah bisa menggeser pegangan
aqidah umat. Ini tidak bisa dibiarkan. Harus dihapus segera.
Wajahnya yang tenang bagai air sungai yang mengalir jernih, masih
nampak bercahaya walau di saat yang begitu genting.
Sementara itu, Abu Hanifah, sang murid yang ada di hadapannya,
selain cerdas, ia juga punya kelebihan dalam hal tafsir mimpi, seperti Nabi
Yusuf.
Dalam pengamatannya, mimpi tersebut akan memberi pertanda baik
bahwa si Dahriyyah pasti akan mengalami celaka akibatnya nanti. Setelah meminta
dan mendapat izin gurunya, Abu Hanifah kecil pun mencoba menafsirkan mimpi sang
guru.
“Apa yang Guru lihat dalam mimpi sebagai dusun yang luas lagi indah
itu adalah tamsilan kepada agama Islam kita. Pokok yang berbuah lebat itu
adalah tamsilan kepada sekalian ulamanya. Sedangkan sepohon kayu yang masih
tinggal itu adalah tuan sendiri. Dan babi yang tiba-tiba muncul dan merusak
pohon tersebut adalah si Dahriyyah. Sedangkan harimau yang keluar lalu membunuh
babi tadi adalah saya,” jelas Abu Hanifah.
Setelah menjelaskan perihal tafsir mimpi Sang Guru, Abu Hanifah pun
agar memohon agar gurunya memberikan izin biar dirinya saja yang berdebat
dengan Dahriyyah. Sang guru pun memberikan izin dan restu.
Kemudian berangkatlah guru dan murid ini menuju masjid jami’
Sesampainya di sana, seperti biasa sebelum mulai berdebat, Dahriyyah mengejek
para ulama dengan suaranya yang lantang dan keras.
Namun, hal mengejutkan terjadi di tengah ramai orang dalam masjid
itu. Seorang anak kecil berusia 7 tahun, menyahut tantangan Dahriyyah.
“Guruku Imam Hammad terlalu mulia untuk berdebat dengan orang
sepertimu. Biarlah aku saja menjadi lawan debatmu”, sambut Abu Hanifah.
Dahriyyah pun meremehkan Abu Hanifah. “Hai, anak ingusan. Siapa
kamu? Berani sungguh menyahut tantanganku, sedangkan ulama yang
hebat-hebat, yang bersurban dan berjubah telah kukalahkan”
“Wahai Dahriyyah, Sesungguhnya Allah tidak melimpahkan kemuliaaan
dan kebesaran itu pada sorban atau jubah yang dipakai. Tetapi Allah
menganugerahkan kemuliaan kepada orang-orang yang berilmu dan bertaqwa.”
Abu Hanifah lalu membacakan firman Allah dalam Surat
Al-Mujadalah
يَرْفَعِ
اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍ
… niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa
derajat. (QS.
Al-Mujadalah ayat 11)
Geram rasanya hati Dahriyyah mendengarnya kelincahan lidah
pemuda ini mendebat. Maka berlangsunglah debat yang sangat mendebarkan
antara Abu Hanifah melawan seorang atheis bernama Dahriyyah yang terkenal
dengan pemikiran materialis dan atheisnya itu.
Di atas mimbar, Dahriyyah mulai melancarkan pertanyaan. “Benarkah
Allah itu ada?”
“Bahkan jelas Allah memang ada,” tegas
Abu Hanifah.
“Kalau Allah ada, di mana tempat-Nya?” suara Dahriyyah semakin
meninggi.
Imam Abu Hanifah yang menganut Madzhab Asyari pun menjawab, “Allah
tetap ada. Tetapi Dia tidak bertempat!”
“Heran, kau katakan Allah ada, tetapi tidak bertempat,” bantah
Dahriyyah sambil melemparkan senyuman sinisnya kepada hadirin.
“Ah, itu bisa saja wahai Dahriyyah. Coba kau lihat pada
dirimu sendiri. Bukankah pada dirimu itu ada nyawa” Abu Hanifah mulai mendebat.
Orang-orang mulai memperhatikan gaya ilmuwan muda ini berpidato dengan penuh
bakat.
“Bahkan, memang aku punya nyawa, dan memang setiap
makhluk yang bernafas itu ada nyawa!” sahut Dahriyyah.
Imam Abu Hanifah “Tetapi apakah kau tahu di mana letaknya
nyawa atau rohmu itu? Di kepalakah, di perutkah atau apakah di ujung
kakimu?”
Seketika Dahriyyah tersentak mendapatkan serangan balik seperti
itu. Orang-orang mulai berbisik-bisik di antara mereka. Setelah itu, Abu
Hanifah mengambil segelas susu. Lalu ditampilkan pada Dahriyyah, seraya
berkata: “Apakah dalam air susu ini ada kandungan lemak?”
Cepat Dahriyyah menjawab, “Ya, jelas!”
Imam Abu Hanifah bertanya lagi, “Kalau begitu dimanakah lemak
itu berada? Di bagian ataskah atau di bawahkah?” Sekali lagi Dahriyyah
tersentak, tidak mampu menjawab pertanyaan Imam Abu
Hanifah yang sopan itu.
“Untuk mencari di manakah beradanya roh dalam jasad dan tersisip di
manakah lemak dalam air susu ini pun kita
tidak mampu, bagaiman pula kita dapat menjangkau dimanakah
beradanya Zat Allah SWT di alam raya ini? Zat yang telah menciptakan
dan mengatur seluruh alam ini termasuk roh dan akal dangkal kita ini, pun
ciptaan-Nya, yang tunduk dan patuh di bawah urusan tadbir perintah-Nya Yang
Maha Agung!”
Suasana menjadi agak hening. Dahriyyah terpaku di kursi. Terbungkam
lidahnya. Merah mukanya. Kesabarannya mulai terburai. Setelah kondisi agak
reda, Dahriyyah memberikan pertanyaan kembali.
“Hai anak muda! Apakah yang ada sebelum Allah. Dan apa pula yang
muncul setelah Dia?” Semua mata tertuju pada Abu Hanifah, murid Imam Hammad
yang pintar ini.
“Wahai Dahriyyah! Tidak ada sesuatu pun yang ada sebelum Allah dan
tidak ada sesuatu pun yang akan muncul setelah-Nya. Allah SWT tetap Qadim dan
Azali. Dialah yanng Awal dan Dialah yang Akhir”, tegas Abu Hanifah, singkat
tapi padat.
“Sangat aneh! Mana mungkin begitu, Tuhan Wujud tanpa ada permulaan
Nya? Dan mana mungkin Dia pula yang terakhir tanpa ada lagi yang setelah Nya?”
Dahriyyah mencoba berdalih dengan pikiran logika.
Dengan tersenyum Abu Hanifah menjelaskan, “Ya! Dalilnya ada pada
diri kamu sendiri. Coba kau lihat pada ibu jarimu itu. Jari apakah yang kau
lihat sebelum jari ini?” Sambil menunjukkan ibu jarinya ke langit. Dan beberapa
hadirin juga melakukan hal yang sama.
“Dan pada jari manis Anda itu, ada lagikah jari yang berikutnya?”
Dahriyyah membalik-balik jarinya. Tidak terpikir olehnya persoalan yang
sekecil itu yang disampaikan oleh Abu Hanifah.
“Jadi! Kalaulah pada jari kita yang kecil ini pun, tidak mampu kita
berpikir, apalagi Allah Zat Yang Maha Agung itu, yang tidak satu pun yang
mendahului-Nya dan tiada sesuatu yang kemudian setelah-Nya.”
Sekali lagi Dahriyyah tercengang. Bungkam. Namun masih tidak
berputus asa untuk mematahkan argumen anak muda yang telah mempermalukannya di
muka umum. Khalifah kagum.
Dahriyyah pun berpikir. Mencari ide. Seperti suatu ilham baru telah
menyuntik otaknya, iapun tersenyum. Hati Dahriyyah bergejolak bagai air tengah
mendidih. Debat anatara Abu Hanifah melawan atheis itu pun berlanjut.
“Ini pertanyaan yang terakhir buatmu, hai bocah!” Sengaja Dahriyyah
mengeraskan suaranya agar bisa menutupi rasa malunya.
“Allah itu ada, katamu. Ha! Apakah pekerjaan Tuhanmu saat ini?”
Pertanyaan tersebut membuat Abu Hanifah tersenyum riang.
“Ini pertanyaan yang sungguh menarik. Tapi dari tadi Anda
melontarkan pertanyaan di atas mimbar dengan suara lantang yang bisa didengar
semua hadirin. . Jadi harusnya sekarang saya yang berada di atas mimbar
tinggi agar jawaban saya dapat didengar oleh semua orang yang hadir,” kata Abu
Hanifah.
Abu Hanifah mempersilahkan Dahriyyah turun dari mimbar. Dahriyyah
pun berjalan turun meninggalkan mimbar masjid jami’, memberi tempat untuk Abu
Hanifah.
Setelah di atas mimbar, Abu Hanifah berkata dengan suara lantang
berwibawa “Ketahuilah wahai Dahriyyah dan para hadirin, bahwa kerja Allah saat
ini adalah menggugurkan yang bathil sebagaimana Dahriyyah yang berada di atas
mimbar, diturunkan Allah ke bawah mimbar. Dan Allah juga telah menaikkan yang
hak sebagaimana aku, yang berada di bawah sana , telah dinaikkan ke
atas mimbar masjid Jami’ ini!“
Bagai halilintar menyambar! Argumen Abu Hanifah menerjang kedua
pipi Dahriyyah. Seiring dengan itu, bergemalah pekikan takbir dari
massa yang membludak memenuhi masjid jami’. “Allahu Akbar, Allahu akbar,
Allahu Akbar!!”.
Mereka memuji kewibawaan Abu Hanifah yang telah berhasil
menyelamatkan martabat Islam dari lidah Dahriyyah yang sesat lagi menyesatkan
itu.
Begitulah kisah debat antara Imam Abu Hanifah melawan seorang
atheis. Beliau yang merupakan salah seorang pendiri mazhab empat ini memang
dikenal sebagai ahli ra’yu atau logika kecerdasannya diakui oleh ulama yang
sezaman maupun generasi setelahnyanya.
Hingga saat ini, nama Imam Abu Hanifah terus dikenal di
seluruh dunia dan madzhabnya banyak diikuti oleh belahan dunia muslim.
Wallahua’lam bish-shawwab....
Nah itulah sedikit kisah dari kisah Imam Abu
Hanifah Menang Debat Melawan Seorang Atheis Ketika berumur 7 (Tahun)..
Sekian dari Coretan Kisah Sahabat Nabi / Kuas Hidayah, Semoga bisa
membawa manfaat.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Dikutip dari Sumber : pecihitam.org/